MEDIAHALUOLEO.COM | OPINI - DALAM sistem demokrasi, kepercayaan publik adalah pilar utama penyangga keberlangsungan pemilu yang jujur dan adil. Pemilu harus dirawat dan dijaga oleh semua pihak; peserta pemilu, rakyat, pemerintah dan juga penyelenggara pemilu. Kita semua harus bersatu dan berama-sama dalam merawat demokrasi agar terus bertumbuh dan berkembang seperti yang dicita-citakan semua kalangan. Baik di awal maupun sesudah reformasi.
Ironisnya, pada pelaksanaan Pemilu 2024, iklim demokrasi Indonesia yang sedang bertumbuh-kembang itu kembali tercoreng pada Pemilu 2024 lalu. Diwarnai maraknya praktik vote buying (politik uang dalam bentuk suap ke pemilih).
Vote Buying
Fenomena ini tidak hanya terjadi secara sporadis, tetapi berlangsung masif dan terstruktur sekali. Peroses ini mencerminkan, bahwa betapa proses demokrasi kita masih rentan sekali dibajak oleh kekuatan politik uang. Praktik vote buying dalam Pemilu 2024 menjadi cerminan brutalnya kontestasi politik yang tidak sehat dan tidak beretika. Pola ini merusak nilai-nilai dasar demokrasi seperti keadilan, kesetaraan, akuntabilitas dan integritas.
Politik uang memperkuat dominasi calon dari golongan elite kaya yang mampu “membeli” peroses pencalonan, sekaligus mematikan peluang bagi calon-calon yang berintegritas tetapi tidak memiliki modal besar.
Tak berhenti sampai disitu, luka demokrasi akibat praktek culas di Pemilu 2024 yang brutal, kembali mengangga.
Fakta Sidang
Fakta mengejutkan itu datang dari sidang Kode Etik Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang digelar Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Kamis 17 Mei 2025 di kantor KPU Provinsi Riau.
Dalam sidang yang dipimpin anggota DKPP RI, Prof J Kristiadi dan tiga anggota dari Tim Pemeriksa Daerah (TPD) terhadap Ketua dan Anggota Bawaslu Kuantan Singingi seperti kembali mengkonfirmasi praktek-praktek tak terpuji itu. Di mana selama ini hanya menjadi bisik-bisik cerita saja, tapi di sidang kemarin itu menjadi tersuguh begitu nyata sekali.
Berjemaah Culas
Sungguh mengoyak nurani, ketika tersingkap bahwa ada jajaran pengawas pemilu di kabupaten Kuantan Singingi melakukan perilaku culas secara berjamaah. Di pimpin langsung oleh ketua bawaslu bersama beberapa perwakilan Panwascam melakukan kunjungan ke rumah seorang pimpinan partai politik di daerah tersebut. Peristiwanya terjadi pada saat-saat tahapan pemilu sedang berlangsung.
Lebih memilukan lagi, kunjungan tersebut dibalut fasilitas berupa uang makan dan transportasi sebesar 20 juta rupiah. Peristiwa ini, juga terungkap menjadi fakta di persidangan. Ketua Bawaslu Kuantan Singingi, selaku Teradu I mengakui, meski dengan pilihan bahasa dan kalimat yang berupaya melakukan pembelaan di sana-sini.
Integritas Tergadai
Hati nurani menjerit, bukan hanya etika yang tercabik, integritas tergadai, tapi kepercayaan publik juga nyaris tak bersisa. Yang melaporkan peristiwa ini bukan pula orang sembarangan, Firdaus, nama yang tidak asing dalam dunia penyelenggara di provinsi Riau. Firdaus adalah anggota KPU Provinsi Riau 2019-2024, dan Ketua KPU 3 (tiga) periode sebelumnya di Kabupaten kuantan Singingi, di lokasi kabupaten di mana peristiwa ini terjadi.
Sebagai mantan penyelenggara yang sudah berkecimpung lama di dunia penyelenggara, tentu beliau tidak bisa terima demokrasi yang dulu beliau jaga dirusak oleh orang-orang seperti ini.
Pengkhianatan Demokrasi
Bagaimana mungkin pengawas, yang harusnya menjaga, menjadi wasit agar seluruh tahapan pemilu berjalan sesuai jalurnya, yang diamanahi mandat untuk bersikap netral dan mengawasi jalannya pemilu tanpa keberpihakan, justru berbaur dengan aktor kontestasi? Ini bukan hanya sekadar pelanggaran administratif. Ini adalah pengkhianatan terhadap esensi demokrasi.
Sebab ketika pengawas bermain di ranah yang semestinya mereka waspadai, maka panggung pemilu bukan lagi arena rakyat, melainkan medan tipu daya segelintir elite. Sudah matikah hati nuraninya? Dengan alasan hanya ingin berdiskusi?
Penulis ingat betul duluuu sekali salah satu komisioner KPU RI, saat membeli sate, bertemu tidak sengaja dan melambaikan tangan kepada salah seorang anggota partai sambil tersenyum, dilaporkan ke DKPP, karena dianggap ada "main". Ini alih-alih pertemuan yang tidak disengaja justru bertandang ke rumah petinggi partai, membawa serta anggotanya alih-alih mengingatkan agar anggota dibawahnya menjaga integritas , malah mengajak mereka ke jurang kecurangan...ada apa ini?
Apalagi yang tersisa untuk rakyat, jika pengawas justru memilih berkompromi daripada bersikap tegak lurus? Dalam diam, publik merintih. Karena sesungguhnya demokrasi yang kita perjuangkan dengan darah dan air mata itu tidak hanya dirusak oleh para pelaku politik uang, tapi juga oleh pengkhianatan moral dari mereka yang semestinya menjaga. Mereka semestinya yang membuat kita merasa aman, karena meyakini bahwa mereka akan menjadi garda terdepan dalam menjaga demokrasi, tapi kenyataannya bertolak belakang dengan apa yang kita harap, mereka justru jadi garda terdepan yang merusak demokrasi tersebut.
20 Juta
Pemberian uang dengan dalih “transport dan makan” senilai 20 juta rupiah bukan hanya mencederai logika kewajaran, tetapi juga membuka ruang tafsir yang sangat liar, tentang potensi suap terselubung, tentang praktik lobi gelap, dan tentang kolusi yang kian mengakar. Bila ini dibiarkan, kita tak sedang melangkah menuju demokrasi yang kita gadang-gadangkan, tapi sedang berbalik arah menuju kematian akhlak demokratis.
Sudah saatnya rakyat bersuara. Sudah saatnya institusi penyelenggara pemilu dibersihkan dari mereka yang tidak layak memikul tanggung jawab moral sebagai penjaga keadilan pemilu. Kita butuh orang-orang yang punya etika, kita butuh orang-orang yang punya malu, kita butuh orang-orang berintegritas, bukan mereka yang menjual independensinya demi kenyamanan sesaat.
Kita tidak hanya kecewa. Tapi lebih dari itu, kita terluka. Luka ini tak bisa sembuh hanya dengan klarifikasi atau dalih prosedural.
Penutup
Penulis berharap agar DKPP memberikan putusan terberat yang bisa diberikan kepada orang-orang yang sudah menciderai apa yang sudah diamanatkan kepada mereka.
Menurut penulis dengan perilaku seperti ini mereka tidak layak lagi menjadi penyelenggara pemilu. Perilakunya bukannya berkontribusi untuk tumbuhnya demokrasi kearah yang lebih baik, tapi mereka perlahan-lahan mengubur demokrasi itu sendiri yang seharusnya mereka rawat dengan sikap integritas dan independensi.
Jika perilaku seperti ini masih dianggap normal makin rusak demokrasi kita, maka kita pun berkontribusi untuk mengubur demokrasi kita ke titik yang terdalam.
Saat ini, yang kita perlukan adalah pemulihan total, biarkan nurani yang bicara dengan evaluasi menyeluruh, sanksi tegas, dan perombakan moral di tubuh penyelenggara pemilu demi menatap Pemilu 2029 yang lebih bermarwah. Jika penyelenggara pemilu tak lagi bisa kita percaya, lalu kepada siapa lagi rakyat akan berharap? Sungguh menyedihkan.***
Writer: Yenni Mairida (Ketua Yayasan Peduli Literasi Demokrasi Riau, Ketua dan Anggota KPU Kabupaten Indragiri Hulu 2019–2024 dan 2014 – 2019)