Menghitung Janji Kemerdekaan

Menghitung Janji Kemerdekaan



Apa makna sebuah janji? Jangan ditanyakan itu ke satu orang. Sebab janji itu komitmen, kesamaan kata dan perbuatan. Tapi faktanya, tak semua sepakat makna komitmen. Semua orang bebas berpendapat tentang janji. Di alam demokrasi, itu sah saja. Wajar dan legal.


Bagi generasi 1945, janji itu komitmen merdeka. Mereka yakin, Indonesia merdeka itu jembatan emas. Menuju alam Indonesia yang makmur. Jadi bangsa sejahtera lahir batin. Berharap generasi paska merdeka membawa Indonesia mandiri. Berangkat dari alam terjajah, menuju negara berdaulat. Rakyat mampu bangkit, mengejar mimpi untuk maju. Dalam saripati internasionalisme yang tidak meninggalkan nasionalisme.

Berbilang tahun, berganti zaman. Janji itu masih harus ditunaikan. Kita masih harus menyabarkan diri. Agar janji para pendiri bangsa mampu dituntaskan. Sebab berganti  waktu, masalah bangsa ini makin kompleks. Kita berhadapan dengan janji merdeka yang sama. Tapi janji itu masih terasa menjauh. Dalam hal janji, satu saja mencerdaskan kehidupan bangsa.

Alih-alih jadi bangsa yang cerdas. Alam pikir kita masih terhalusinasi kecerdasan semu. Jika dulu pendiri bangsa berdebat seru di media massa. Menawarkan hasil membaca dan pikiran solutif. Tak jarang pandangan mereka dianggap merusak nama baik kaum penjajah. Narasi, gugatan, pledoi, pidato, semua itu hasil literasi tingkat tinggi. Tak jarang debat antar pemimpin mencuri perhatian publik. Tapi selesai perdebatan. Suasana panas mereda. Berganti suasana persahabatan tanpa batas.

Sekarang justru terbalik. Debat dengan bumbu narasi kosong muncul di permukaan. Kita dipertontonkan bukan lagi diskusi berisi tapi diksi penuh halusinasi. Media sosial jadi ajang caci maki tanpa subtansi. Kita diajak merobek janji kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Konten media sosial sekarang dominan sarana menjelekkan lawan, menutup pandangan berbeda dan terjebak benar-salah, hitam putih, koalisi-oposisi. Tanpa mau mengerti bagaimana menghargai makna berdemokrasi.

Di tengah alam demokrasi dan putaran cepat teknologi , jangan sibuk merasa benar sendiri. Kita perlu membangun kembali demokrasi Indonesia yang berbhineka tunggal Ika. Siap berbeda, siap diuji pikiran dan gagasannya, bukan siap melapor polisi hanya karena pandangan berbeda. Seolah lupa, dulu Hatta tak lapor polisi ketika berbeda dengan Soekarno. Setipis apa kuping Anda saat harus berbeda dan mudah melapor atas nama pencemaran nama baik dan penghinaan? Seolah lupa di alam demokrasi, berbeda itu biasa. Sebiasa Hamka yang seringkali berhadapan dengan Soekarno karena berbeda pendapat. Tapi tak ada dendam di hati Hamka. Tak ada urusan lapor melapor karena berbeda itu keniscayaan berdemokrasi. Justru hal unik terjadi, enteng saja Hamka menjadi imam shalat ketika Bung Karno meninggal dunia.

Kita pun mulai berhitung kapan janji cerdas anak bangsa terjadi? Sunyi kita menanti, bagaimana agar demokrasi membangun sikap saling menghargai? Kita masih menunggu, kapan lahir mentalitas bangsa yang toleransi atas perbedaan? Di tengah mendekati perayaan Indonesia merdeka sebentar lagi. Kita patut menguji dan merefleksikan diri, bagaimana menuntaskan janji kemerdekaan dengan membangun manusia Indonesia yang toleransi terhadap keberagaman berekspresi dan berpendapat di negeri ini.

Cibitung, Rabu, 2 Agustus 2022

Inggar Saputra (DPP Rumah Produktif Indonesia)

NEXT PAGES:


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama